Kepulan asap di tengah laut pada suatu malam di bulan Januari 14 tahun silam masih jelas dalam ingatan Refi Rustiansyah (42).
Asap itu berasal dari kapal miliknya yang dibakar ratusan nelayan tradisional, lalu dalam hitungan jam tenggelam di laut.
"Waktu itu ada tiga kapal pengguna pukat harimau yang dibakar lalu ditenggelamkan nelayan tradisional," kata Refi berkisah saat ditemui di warung ikan bakar miliknya di Pasar Malebero, Kota Bengkulu.
Saat itu, menurut Refi, penggunaan alat tangkap trawl memang menjadi sorotan pemerintah dan musuh bersama para nelayan.
Setelah peristiwa itu, Refi memutuskan berhenti melaut dan beralih profesi menjadi pedagang ikan bakar di pinggir Pantai Kualo.
"Menjual ikan bakar hasil tangkapan nelayan tradisional lebih menguntungkan dan kami ingin menjadikan Kelurahan Pasar Malabero sebagai pusat kuliner laut," kata Ketua Persatuan Pedagang Pasar Malabero itu.
Setelah "perang" di tengah laut pada 14 tahun lalu itu, ternyata penggunaan alat tangkap trawl (pukat harimau) masih marak di perairan Bengkulu.
Nelayan tradisional di Kelurahan Malabero masih mengeluhkan ratusan kapal pengguna alat tangkap ilegal tersebut masih beroperasi di wilayah perairan mereka.
"Setiap hari ratusan kapal dengan alat tangkap trawl masih bebas beroperasi di laut Bengkulu," kata Ketua Kelompok Nelayan Jasa Bahari Kota Bengkulu Edi Betok.
Padahal, kata dia, alat tangkap ilegal tersebut sudah dilarang keras penggunaannya oleh pemerintah.
Termasuk kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum lama ini ke perkampungan nelayan di Kota Bengkulu juga menegaskan larangan menggunakan alat tangkap tersebut.
"Kami mendengar langsung dari Bu Menteri yang meminta aparat penegak hukum untuk menertibkan trawl tapi sampai sekarang masih bebas," katanya.
Edi menduga, operasi kapal dengan alat tangkap terlarang itu didukung oleh sejumlah oknum aparat.
Sebab, menurutnya, hanya ada satu jalur masuk dan keluar kapal-kapal tersebut, yakni melalui Pelabuhan Pulau Baai sehingga pemeriksaannya tidak sulit.
Nelayan lainnya, Febri mengaku saat melaut masih sering melihat kapal-kapal yang menggunakan trawl.
"Kalau aparat keamanan punya niat menertibkan trawl, mudah sekali membasminya tapi tidak ada kemauan," ucapnya.
Febri mengatakan nelayan lainnya di Kota Bengkulu bukan tidak mampu membeli alat tangkap trawl, tapi mereka sadar akan bahaya penggunaan alat tangkap tersebut terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang.
Bila terumbu karang mati maka ikan-ikan tidak dapat berkembang biak yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan nelayan.
Berantas Trawl
Sebelumnya, dalam kunjungan kerja ke Kota Bengkulu pada November 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta aparat keamanan untuk membersihkan alat tangkap trawl.
"Saya akan tarik seluruh bantuan untuk nelayan ke Bengkulu bila masih ada trawl," kata Menteri Susi kala itu.
Untuk menindaklanjuti instruksi Menteri KKP tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu mengumpulkan para nelayan di Pelabuhan Pulau Baai dan menegaskan larangan penggunaan trawl.
"Kembali ditegaskan kepada seluruh nelayan agar menghentikan penggunaan alat tangkap trawl," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Rinaldi saat berdialog dengan nelayan di aula Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pulau Baai.
Rinaldi yang didampingi pejabat Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Bengkulu dan Polairud mengatakan masih ada 500 unit kapal yang menggunakan alat tangkap terlarang yang beroperasi di perairan wilayah itu.
Kajian ekologis akibat penggunaan trawl menurut Rinaldi menunjukkan bahaya dalam jangka panjang. Kepunahan ikan dan keberlangsungan ekosistem laut menjadi taruhannya.
Karena itu pemerintah melarang penggunaan trawl yang ditegaskan dalam Undang-Undang nomor 45 tahun 2010 tentang Perikanan dan Keppres nomor 39 tahun 1980 tentang larangan pemakaian trawl.
Salah seorang nelayan yang hadir dalam pertemuan itu Rustam Efendi mengharapkan pemerintah membantu nelayan untuk mengalihkan jenis alat tangkap.
"Kami harapkan ada bantuan dari pemerintah untuk membeli alat tangkap yang sah karena mengganti alat tangkap juga tidak murah," katanya.
Tentang bantuan tersebut, Rinaldi mengatakan sudah diusulkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) namun jika nelayan tetap menggunakan alat tangkap trawl maka seluruh bantuan dari pemerintah pusat bagi nelayan Bengkulu akan dihentikan.
Perwira Pelaksana Pangkalan Angkatan Laut Bengkulu Mayor Laut (P) Muhammad Ali yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan akan menggelar razia untuk menertibkan alat tangkap trawl pada akhir Januari 2015.
"Kami minta nelayan untuk mengganti alat tangkap trawl karena Lanal akan turun dan menangkap pemakai trawl," katanya.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Bengkulu Romi Faislah mengatakan alat tangkap trawl atau pukat harimau sudah tidak ramah untuk lingkungan dan masa depan anak cucu.
"Sebenarnya sangat sedikit nelayan yang menggunakan trawl tapi dampaknya bagi kehidupan sangat parah," katanya.
Ia mengatakan akibat penggunaan trawl, pendapatan nelayan tradisional di Kota Bengkulu menurun drastis. Sebab, selain merusak terumbu karang, alat tangkap itu juga menangkap seluruh ukuran ikan, sehingga menghambat kelangsungan atau regenerasi ikan.
Saat ini, menurutnya, ada 1.000 orang nelayan yang menggunakan trawl tapi dampaknya merugikan 23 ribu orang nelayan lainnya di provinsi tersebut.
"Karena itu kami minta aparat penegak hukum tegas menindak penggunaan trawl karena kalau dibiarkan bisa terjadi konflik di antara para nelayan seperti tahun 2000," katanya.
Bantu Nelayan
Untuk meningkatkan produktivitas nelayan di Provinsi Bengkulu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengalokasikan tujuh unit mesin untuk memproduksi es bagi nelayan.
"Bantuan yang sudah disetujui di APBN 2015 berupa tujuh unit mesin untuk memproduksi es," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Rinaldi.
Ia mengatakan kebutuhan nelayan terhadap batu es menjadi salah satu kendala untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Karena itu, ketersediaan es bagi nelayan diharapkan dapat meningkatkan produksi perikanan tangkap di perairan Bengkulu.
"Selama ini nelayan mengeluh sulit mendapatkan es, kalau pun ada harganya cukup tinggi, maka bantuan mesin ini sangat tepat," ujarnya.
Selain bantuan mesin untuk membuat es, KKP juga memberikan bantuan bagi lima kelompok nelayan di Kota Bengkulu dengan nilai masing-masing Rp100 juta.
Dana bantuan untuk kelompok usaha bersama para nelayan tersebut dapat digunakan untuk pengembangan usaha perikanan seperti pengolahan hasil dan lainnya.
Rinaldi mengatakan bantuan dari KKP tersebut dapat direalisasikan bila persyaratan penggunaan alat tangkap ilegal berupa "trawl" benar-benar ditinggalkan nelayan.**1***