Bengkulu (Antara) - Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu,
merupakan salah satu sentra produksi hasil pertanian terutama palawija
dan sebagian hasil perkebunan.
Namun belakangan ini, warga atau petani setempat mengeluhkan terus
merosotnya harga hasil pertanian mereka sehingga mempengaruhi
pendapatan.
Sebaliknya, ketika harga tinggi, petani dihantui dengan kasus
pencurian hasil pertanian ketika masih berada di kebun. Kian terpuruklah
petani.
Pertengahan bulan ini didapat informasi bahwa harga jual cabai merah
keriting di Kota Curup, Kabupaten Rejanglebong, dalam sepekan
belakangan kembali mengalami penurunan dari Rp20.000 menjadi Rp12.000 -
Rp14.000 per kilogram.
"Harga jual cabai merah keriting sejak seminggu belakangan turun
drastis, jika seminggu lalu masih Rp20.000 per kg saat ini untuk cabai
kualitas bagus hanya berkisar Rp14.000 dan kualitas sedang Rp12.000 per
kg. Harganya turun karena kalah bersaing dengan cabai dari luar daerah
yang masuk ke Curup," kata Sumiyati (40) salah seorang pedagang sayuran
di kawasan Pasar Atas Curup.
Turunnya harga cabai merah keriting di daerah tersebut, kata dia,
terjadi sangat cepat dan sebaliknya bisa naik dalam waktu yang tidak
bisa diperkirakan.
Turunnya harga jual cabai merah keriting di daerah tersebut
dikeluhkan petani salah satunya adalah Agus Susilo (28) warga Desa
Teladan, Kecamatan Curup Selatan, karena ditingkatan petani harganya
hanya berkisar Rp5.000 sampai Rp7.000 per kg.
"Modal utama saya kemarin sekitar Rp2 juta, masing-masing untuk beli
pupuk, obat-obatan, bibit dan upah penggarapan lahan. Pendapatan kali
ini cuma bisa balik modal. Selain harga jual cabai yang turun saat ini
banyak tanaman petani yang mati akibat diserang penyakit, jika harganya
semakin turun bakalan banyak petani yang tidak bisa menanam cabai lagi
karena modalnya habis," ujarnya.
Keluhan pun diutarakan kalangan petani sayuran di Kecamatan Selupu
Rejang, Kabupaten Rejanglebong, karena penurunan harga jual aneka
sayuran di daerah itu yang terjadi sejak sepekan belakangan.
"Harga sayuran saat ini turun drastis malah untuk harga tomat di
tingkatan petani harganya cuma Rp400 sampai Rp500 per kg," ujar Kasman
(48) warga Desa Karang Jaya, Kecamatan Selupu Rejang.
Selanjutnya, kata dia, harga sawi Rp700 per kg, kol bulat harganya
kurang dari Rp1.000 per kg. Penurunan harga ini sangat memberatkan
petani karena untuk jenis barang lainnya malah mengalami kenaikan harga.
Rendahnya harga jual sayuran di daerah itu, kata dia, membuat
sebagian petani setempat tidak memanen hasil kebun mereka dan
membiarkannya membusuk, hal ini mereka lakukan karena hasil yang akan
didapat tidak sebanding dan hanya cukup untuk upah panen serta ongkos
angkut barang saja.
Tokoh masyarakat Kecamatan Selupu Rejang, Edi Podomoro (55)
menyebutkan, produksi sayuran daerah itu saat ini kalah bersaing dengan
produk serupa yang dihasilkan dari daerah lainnya sehingga saat musim
panen sayuran harganya selalu anjlok dan tidak laku di pasaran.
"Sayuran kita kalah dengan yang dihasilkan Kerinci, Jambi, Padang,
Medan, Palembang, dan Lampung serta sayuran dari pulau Jawa. Padahal
selama ini Rejanglebong dikenal menjadi pemasok kebutuhan sayuran
terbesar di Sumatera, tetapi sekarang produknya kalah bersaing sehingga
harganya selalu rendah dari harga sayuran asal daerah lain," jelasnya.
Produk sayuran setempat kalah bersaing dengan daerah lainnya kata
dia, selain terlalu banyak mengandung air dan terlalu banyak menggunakan
pupuk kimia.
Produk Perkebunan
Penurunan harga pun terjadi pada sejumlah produk perkebunan yang menonjol di kabupaten tersebut yakni karet dan kopi.
Harga jual karet yang dihasilkan petani di Kabupaten Rejanglebong
saat ini tidak kunjung naik dan bertahan di kisaran Rp6.000 per kilogram
untuk karet harian serta karet bulanan Rp8.000 per kilogram.
"Harga jual karet di pedagang pengepul tingkat kecamatan saat ini
paling tinggi Rp6.000 per kilogram, sedangkan untuk karet bulan per
kilogramnya berkisar Rp8.000, harga karet ini tidak pernah naik sejak
satu bulan belakangan," kata Heriyanto (47) petani karet asal Kecamatan
Padang Ulak Tanding.
Harga jual karet masyarakat setempat kata dia, pada awal 2014 lalu
sempat naik hingga Rp9.000 per kg untuk karet harian dan karet bulanan
mencapai Rp13.000 per kg, namun harga tersebut tidak bertahan lama dan
kembali turun di kisaran Rp6.000 per kg.
Penurunan harga jual karet ini tambah dia, sangat memberatkan petani
mengingat harga kebutuhan pokok saat ini mulai naik sedangkan produksi
karet hasil sadapan mereka per harinya mengalami penurunan seiring
datangnya musim hujan sejak sepekan terakhir.
Karet yang dihasilkan petani setempat selain dijual kepada pedagang
pengepul di Kecamatan Padang Ulak Tanding kata dia, juga dipasarkan ke
sejumlah pool karet yang ada di Kota Lubuklinggau dan bahkan bagi petani
karet yang sudah mapan dan memiliki armada angkutan menjual karet
mereka langsung ke pabrik pengolahan karet yang ada di Kota Bengkulu
maupun di Kota Palembang, Sumsel.
Sementara itu hal yang sama juga diutarakan Aidil (34) warga
Kecamatan Kota Padang, dan berharap harga karet dapat normal kembali,
karena saat ini mereka sedang membutuhkan banyak biaya untuk pemenuhan
keperluan hidup sehari-hari yang dalam beberapa hari ini mulai mengalami
kenaikan serta untuk pembiayaan sekolah anak-anak mereka.
"Kami berharap harga karet ini dapat normal kembali, karena harga
kebutuhan pokok sekarang sudah naik semua sehingga pendapatan sudah
tidak seimbang dengan pengeluaran sehari-hari baik untuk makan, minum
maupun untuk biayai sekolah anak-anak yang sebentar lagi akan ujian,"
ujarnya.
Begitu pula dengan harga kopi. Harga jual kopi biji asalan di
wilayah Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu, dalam sepekan
belakangan kembali turun ke kisaran Rp18.000 dari Rp20.000 per kilogram
harga sebelumnya.
"Sejak seminggu belakangan harga jual kopi kembali turun ke harga
sebelumnya antara Rp18.000 sampai Rp18.500 per kilogram, padahal dua
minggu lalu sempat naik di kisaran Rp20.000 per kg," kata Syamsul (55)
warga Desa Tanjung Aur, Kecamatan Sindang Kelingi.
Sejauh ini mereka kata dia, tidak mengetahui apa penyebab turunnya
harga kopi di daerah itu, karena saat harganya naik beberapa waktu lalu
produksi buah kopi yang dihasilkan petani setempat juga sedang mengalami
penurunan akibat adanya pengaruh musim.
Sementara itu menurut Rusani (47) petani kopi asal Desa Pelalo,
Kecamatan Sindang Kelingi, adanya penurunan harga jual buah kopi di
wilayah Kabupaten Rejanglebong, sudah mereka perkirakan saat terjadinya
kenaikan harga pada awal April lalu, karena turun naiknya harga jual
kopi bisa terjadi kapan saja dan sulit diperkirakan.
"Saat harga kopi naik kemarin buah yang dihasilkan kebun petani
sedikit, sehingga petani tidak menikmatinya. Sebaliknya saat buah kopi
berbuah lebat harganya malah turun, jadi kami tidak bisa
memperkirakannya kapan harganya naik dan turun, semuanya bergantung
dengan para toke kopi," ujarnya.
Menjadi petani kopi bagi masyarakat di Desa Pelalo tambah dia,
merupakan pekerjaan utama dengan produksi per hektarenya jika sedang
berbuah normal bisa menghasilkan 1,5 ton sampai 2,5 ton, namun saat ini
produksi buah kopi setempat turun drastis dan cuma bisa menghasilkan
antara 800 kg hingga 1,2 ton. Penurunan ini akibat adanya pengaruh musim
sehingga buah kopi yang dihasilkan tanaman berkurang.
Rendahnya harga produk pertanian dan perkebunan di Provinsi Bengkulu
tak terlepas dari kurang siapkan infrastruktur seperti kualitas jalan.
Akibatnya, hasil pertanian atau perkebuan dihargai rendah lantaran buruknya jalan untuk mengangkut produk-produk tersebut.
Menyikapi itu, Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah menginstruksikan
kepada kepala daerah kabupaten dan kota agar fokus menggunakan anggaran
untuk percepatan pembangunan perekonomian.
"APBN dan APBD adalah instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran
pembangunan, kita harus bertanggung jawab dalam menggunakan anggaran
tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bengkulu,
Piter Abdullah mengatakan, pihaknya meyakini percepatan perekonomian di
daerah itu bisa direalisasikan jika pemerintah daerah melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan pelabuhan.
"Jika distriburi barang, ekspor dan impor lancar, perekonomian di
Provinsi Bengkulu akan membaik, dan pemda juga harus memacu provinsi ini
menjadi daerah industri," kata dia.
Kini, tinggal menunggu keseriusan pemerintah daerah untuk
memanfaatkan anggaran dari pusat dan daerah guna meningkatkan kualitas
infrastruktur untuk menopang produk pertanian dan perkebunan yang menuju
peningkatan pendapatan petani atau warga. (Antara)
Petani Rejanglebong menanti peningkatan harga
Senin, 21 April 2014 9:50 WIB 3089